Lima Orang yang Berkurban Meski dalam Kondisi Miskin

Kewajiban untuk menyembelih sapi, kambing atau domba saat Idul Adha memang menjadi perintah Allah SWT kepada orang yang mampu. Ibadah Kurban ini bertujuan untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka yang kurang mampu agar bisa merayakan lebaran haji bersama-sama.

Namun ternyata, semangat berbagi rezeki dalam ibadah kurban tidak hanya dilakukan oleh mereka yang berpenghasilan lebih saja. Beberapa orang yang miskin berikut ini juga melakukan hal serupa. Meski dalam kondisi ekonomi yang sulit, mereka tetap memiliki semangat untuk berkurban saat Idul Adha.

Jika orang kaya bisa dengan mudah mengeluarkan uang untuk berkurban, maka tidak dengan lima orang ini. Mereka harus bersusah payah mengumpulkan recehan setiap harinya hingga terkumpul setelah beberapa tahun. Keinginan mereka untuk menjadi pihak yang memberi akhirnya menginspirasi kita, bahwa Kurban bukan permasalahan miskin atau kaya. Namun mau atau tidak mencari keridhaan Allah SWT. Siapa saja mereka? Berikut ulasannya.

1. Mak Yati, Seorang Pemulung

Mak Yati (61) merupakan seorang nenek yang bekerja sebagai pemulung tebet Jakarta Selatan. Setiap hari Ia hanya berpenghasilan Rp. 25 ribu dari mengais sisa-sisa sampah warga ibukota. Dari uang inilah Ia sisa-sisakan untuk menabung membeli hewan kurban pada Idul Adha 2012 lalu.

Mak Yati mengaku mengumpulkan uang dari Rp.1000 sampai Rp 1500 selama tiga tahun. Akhirnya dengan uang yang dikumpulkannya tersebut cukup untuk membeli dua ekor kambing untuk berkurban. Wanita asal Madura ini mengaku memang ingin sekali melaksanakan kurban saat idul Adha. Ia merasa malu karena harus terus mengantre daging kurban saat lebaran haji.

Akhirnya pada 22 Oktober 2012 lalu, Ia berhasil membeli dua ekor kambing untuk diserahkan kepada pengurus Masjid Al Ittihad. Pengurus masjid yang ada saat itu terkaget-kaget hingga menitikkan air mata. Maklum, Mak Yati memang dikenal karena sering memunguti sampah botol plastik di kawasan masjid tersebut.

Ternyata pengorbanan Mak Yati menabung selama tiga tahun langsung mendapat ganjaran dari Allah. Setelah kisah pengorbanannya jadi pemberitaan media, Kementerian Sosial membuatkan rumah untuk Mak Yati di kampung halamannya di Purwosari, Pasuruan, Jatim.

Rumah yang dibangun tersebut bercat putih dan hijau dengan luas tanah 100 meter persegi, dan luas bangunan 45 meter persegi. Mak Yati resmi menerimanya pada 18 Februari 2013. Selain rumah, Mak Yati juga diberi uang makan selama 3 bulan pertama sebesar Rp 2,8 juta dan modal usaha. Ia lalu bertani di kampungnya.

2. Bambang, Tukang Becak Menabung Lima Tahun Untuk Berkurban Sapi

Kondisi serupa juga dialami oleh Bambang. Tukang becak asal asal Pasuruan, Jawa Timur ini juga berhasil berkurban meski dalam keterbatasan. Setelah menabung selama lima tahun, Bambang yang sehari-hari berpenghasilan Rp.20 sampai Rp.50 per hari bisa membeli seekor sapi seharga Rp. 13 Juta untuk berkurban pada Idul Adha tahun 2013 lalu.

Setiap hari Bambang mulai menarik becak dari jam 06.00 pagi sampai pukul 12.00 siang. Hasil menarik becak itu dia tabung sebagian. Uang-uang itu disimpan di kotak penyimpanan yang berada di bawah jok becak miliknya. Selain hasil menarik becak, uang untuk membeli sapi kurban itu juga datang dari sang istri, Mahmuda (46), yang bekerja sebagai tukang pijat.

Baca Juga:  Inilah yang Sering Diungkapkan Manusia Jelang Kematian

3. Iwan Lutfi, Pemulung 

Kisah selanjutnya datang dari Iwan Lutfi yang merupakan seorang pemulung. Ia dan istrinya merasa geregetan karena selama ini hanya jadi penerima daging qurban saat Idul Adha. Namun mereka hanya berani mengadukan kegemasannya kepada Allah SWT dalam sujud-sujud tahajud.

Pada lebaran haji 2012 lalu, sang istri yang tengah menonton sinetron haji tiba-tiba nyeletuk bertanya kapan bisa naik haji dan bisa berkurban. Namun pertanyaan ini tidak kuasa dijawab Iwan yang hanya menerima uang pas-pasan untuk makan sehari-hari.

Malam itu, istri Iwan tahajud pengin berqurban. Ternyata tanpa disangka-sangka, malamnya ada dermawan mendatangi gubug mereka di dekat Pasar Kembang Rawa Belong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Orang tak dikenal itu membelikan kambing qurban ukuran besar buat Iwan.

Ia berpikir bahwa kambing qurban itu untuk disembelih di sini atas nama orang dermawan tersebut. Ternyata Ia dibelikan kambing untuk berqurban. Hingga saat ini Iwan penasaran dengan dermawan misterius yang memberinya kambing. Ia sama sekali tidak mengetahui namanya.  “Sama sekali tidak tahu namanya. Ketika saya tanya untuk keperluan mengirim doa, katanya pahala dan doa nggak bakal salah alamat,” ungkap Iwan.

4. Yu Timah, penjual nasi yang miskin

Yu Timah, nenek berusia 50 tahun ini membuat banyak orang malu dan berkaca. Nenek yang tinggal sendiri di rumah belantai tanah dan berdinding anyaman bambu mampu membeli seokor kambing untuk kurban. Yu Timah rupanya sudah bertekad keras untuk berkurban, padahal dirinya hanyalah seorang penjual nasi bungkus.

Keterbatasan ini tak menghalanginya,setiap menerima Bantuan Langsung Tunai Yu Timah selalu menyimpan uang itu di bank. Uang itu dia kumpulkan sedikit demi sedikit hingga mencapai Rp 600 ribu. Suatu kali Yu Timah yang merasa uangnya sudah cukup, pun lekas ke bank untuk menggambil uang. Tepatnya pada Idul Adha 2011, Ia berhasil membeli seekor kambing.

“Saya mau beli kambing kurban, Pak! Kalau 600 ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.” ujar dia kepada pegawai bank seperti yang dikutip dari laman dompet dhuafa, Jumat (3/10).

Sayang, saat itu bank telah tutup. Pegawai pun iseng bertanya untuk apa uang itu. Dengan malu, Yu Timah mengatakan hendak berkurban.

“Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar 600 ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?” tanya pegawai tersebut.

Lantas dengan wajah berseri, Yu Timah mengatakan, “Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.”

5. Almarhum Mbah Kemi

Almarhum Mbah Kemi semasa hidup tinggal sendirian di sebuah gubuk di dusun Kembang Kuning, Windusari, Magelang Jawa Tengah. Gubuk itu beratap genteng berdinding bilik. Kesehariannya diisi dengan mengikuti pengajian meski harus berjalan kaki jauh menuju desa tetangga.

Baca Juga:  Larangan Keramas Saat Menstruasi Hanya Mitos

Biasanya Ia mendapatkan makanan sisa snack dari pengajian yang kemudian  dibawanya pulang. Biasanya satu kardus snack bisa mengganjal lapar sampai tiga hari. Ternyata di gubuknya yang sempit Ia tidak tinggal sendiri. Ia berbagi ruang dengan seorang pria jompo kurang waras yang ia temukan di jalanan. Ia juga berbagi ruang dengan seekor ayam betina yang sedang mengeram dan juga kambing setengah baya.

“Nanti kalau saya meninggal, kambing ini biar dipotong untuk orang-orang yang ngurusi jenazah saya,” pesan Mbah Kemi.

Suatu ketika jelang Idul Adha, Ketua Yayasan Daarul Qur’an, Anwar Sani, mampir ke gubug Mbah Kemi. Saat berpamitan pulang, Sani memberinya Rp 150 ribu, dengan pesan untuk membeli makanan kalau nggak ada makanan. Sang tamu prihatin lantaran Mbah Kemi sering mengonsumsi nasi basi.

Ternyata, uang Rp 150 ribu itu akhirnya Mbah Kemi bawa ke pasar bersama seekor kambing setengah baya miliknya. Sesampainya di pasar, uang dan kambing mudanya ditukar dengan kambing jantan yang besar. Kambing besar itu dibawanya pulang. Tapi tidak dimasukkan lagi ke kandang, melainkan dibawa ke musholla depan rumah Mbah Kemi.

“Besok lusa kan Idul Adha, jadi kambing ini dipotong buat qurban saja,” katanya. Saat ada tetangga yang menanyakan kenapa kambing satu-satunya diqurbankan, Mbah Kemi menjawab, “Sakjane Mbah ki pengen banget munggah kaji, tapi amargo durung iso, yo nyembeleh wedus disek wae (Sebenarnya Mbah ingin sekali pergi haji, tapi karena nggak belum bisa ya motong kambing aja dulu).”

Keinginan Mbah Kemi untuk bisa naik haji diijabah Allah. Adalah donatur PPPA Daarul Qur’an yang tergerak hatinya untuk memberangkatkan Mbah Kemi ke Tanah Suci. Pada awal Juni 2009, Mbah Kemi berangkat umroh bersama Kafilah Daarul Qur’an.

Kisah mereka seperti sebuah tamparan bagi kita yang selama ini menahan pundi-pundi rupiah dan dollar namun sama sekali belum berniat untuk kurban. Padahal rezeki dari Allah sedemikian banyak diserahkan kepada kita. Semoga pada lebaran haji tahun ini, pembaca setia infoyunik bisa berbagi dengan berkurban. Jika pun tidak bisa tahun ini, semoga tulisan ini bisa menggerakkan pembaca untuk berkurban tahun depan. Aamiin.

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan untuk berkurban namun dia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami” (HR Ibnu Majah, Ahmad dan Al Hakim).