Gedung Pancasila berdiri sekitar tahun 1830 di Jakarta dan didesain oleh J. Tromp. Awalnya, tujuan pembangunan gedung tersebut adalah untuk dijadikan rumah bagi Hertog Bernhard serta tempat tinggal komandan tentara Kerajaan Belanda. Gedung yang terletak di Jl. Pejambon No. 6 Jakarta Pusat ini juga akan digunakan sebagai tempat pertemuan oleh Volksraad (Dewan Rakyat). Dewan tersebut diprakarsai oleh pemerintah Hindia-Belanda bersama dengan Gubernur Jendral J. P. van Limburg Stirum dan Thomas Bastiaan Pleyte yang menjadi menteri urusan koloni Belanda ketika itu. Selain itu, ada juga sumber yang mengungkapkan bahwa gedung tersebut merupakan tempat dari Raad van Indie. Lalu, bagaimanakah sejarah awal berdirinya Gedung Pancasila ini dan apa fungsinya? Untuk mengusir rasa penasaran, kami akan menyajikan ulasan lengkapnya untuk pembaca.
Sejarah Berdirinya Gedung Pancasila
Pada zaman dahulu, Gedung Pancasila ini bernama Gedung Volksraad. Gedung ini sendiri dibangun sekitar tahun 1830-an ketika itu masih dalam masa penjajahan kolonial Belanda. Kala itu, di daerah Jakarta terutama di Taman Pejambon dan Lapangan Banteng banyak berdiri gedung pemerintahan. Gedung Pancasila menjadi salah satu gedung yang dibangun juga kala itu tepatnya di Jalan Pejambon nomor 6. Pada awalnya, gedung ini dibangun untuk dijadikan sebagai rumah tinggal bagi komandan tentara kerajaan Belanda. Saat itu, ia juga merangkap jabatan sebagai Letnan Gubernur Jendral.
Sebelum Gedung Pancasila atau Gedung Volksraad ini dibangun, komandan tentara kerajaan Belanda tersebut tinggal di tempat yang sekarang menjadi gereja Katredal. Namun, pada 5 Desember 1828 rumah tersebut dijual ke yayasan gereja Katolik dengan harga 20.000 gulden. Setelah terjual, rumah itu akhirnya dibongkar oleh pihak gereja dan dibangunlah sebuah gereja yang megah. Namun, karena sebab yang belum diketahui, pada 9 April 1880 gedung tersebut roboh. Akhirnya, dibangunlah gereja katredal untuk menggantikan gereja yang roboh tersebut. Sepuluh tahun kemudian, gereja ini diresmikan. Dijualnya rumah tersebut membuat sang komandan membutuhkan rumah baru. Dengan alasan tersebut, maka diputuskanlah untuk mendirikan sebuah rumah untuknya di atas taman yang nantinya dikenal dengan nama Taman Hertog. Nama taman tersebut diambil dari nama seorang Panglima Belanda periode 1848-1851 yang bernama Hertog van Saksen Weimar. Taman tersebut nantinya akan kembali berganti nama menjadi taman Pejambon.
Gedung ini menjadi tempat kediaman komandan Belanda sebelum dirinya dipindah tugaskan ke Bandung pada tahun 1916. Karena dinilai cukup memadai maka gedung ini pada akhirnya dialih fungsikan menjadi gedung sidang bagi Dewan Rakyat. Akhirnya, pada Mei tahun 1918 Gedung Volksraad ini diresmikan oleh Gubernur Jendral Limburg Stirum. Apabila kita melihat dalam katalog pameran acara peringatan hari ulang tahun ke -300 Batavia maka akan ditemukan sebuah catatan bahwa Volksraad ini juga pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan anggota Dewan Hindia-Belanda (Raad van Indie). Selanjutnya, pemerintah Hindia-Belanda juga membangun gedung baru untuk Raad van Indie yang terletak tepat di sebelah barat gedung Volksraad yaitu di jalan Pejambon no. 2.
Ketika itu, jumlah seluruh anggota Volksraad ada 60 orang. 30 orang merupakan wakil rakyat Indonesia yang 19 di antaranya dipilih secara langsung. Selain itu, ada juga 25 orang yang berkebangsaan Belanda, 4 orang perwakilan masyarakat golongan keturunan Tionghoa dan satu orang sisanya adalah perwakilan keturunan Arab. Setiap tahunnya, di gedung ini selalu diadakan dua kali sidang. Sidang pertama selalu berlangsung pada 15 Mei sedangkan sidang keduanya dilakukan pada hari Selasa di minggu ketiga bulan Oktober. Untuk waktu yang dibutuhkan bagi sidang tersebut untuk berjalan adalah empat setengah bulan. Dalam jangka waktu 14 tahun sejak dibuatnya tahun 1927, Volksraad hanya bisa mengajukan 6 rancangan, dan hanya ada 3 rancangan yang akan diterima oleh pemerintah Belanda kala itu. Menurut tiga anggota Volksraad sepanjang berdirinya Volksraad tersebut hampir tidak ada hasil yang mereka bisa capai.
Babak baru sejarah berdirinya Gedung Pancasila memasuki babak baru ketika Cho Sang-in dibuat sebagai badan yang bertugas untuk memberikan masukan-masukan serta pertimbangan kepada para pemerintah. Selain itu, mereka juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pemerintah terkait dengan soal politik. Total jumlah anggota dari badan ini adalah 43 orang, 23 orang diantaranya adalah orang pilihan, sedangkan 18 lagi adalah utusan dari setiap keresidenan dan Batavia serta ada 2 orang lain yang merupakan utusan dari Yogyakarta dan Surakarta.
Kembali dipergunakannya gedung tersebut yang dijadikan sebagai tempat sidang bagi badan pertimbangan yang dibuat oleh Jepang membuat nama gedung tersebut lebih dikenal sebagai Gedung Cho Sangi In. Pada tanggal 16 hingga 20 Oktoer 1943, dibentuklah 4 Komisi yang bertugas untuk menjawab pertanyaan dari Saikou Shikikan untuk memenangkan perang Pasifik.
Babak akhir sejarah berdirinya gedung Pancasila terjadi ketika Jepang mengalami kekalahan dalam perang Pasifik. Kekalahan tersebut memaksa mereka akhirnya harus membentuk Dokuritsu Junbi Chosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI). Sidang-sidang yang dilakukan oleh BPUPKI ini sering berlangsung di Gedung Volksraad. Pada tanggal 1 Juni 1945, kinerja dari BPUPKI ini menuai kritikan dari Soekarno. Ia menganggap BPUKI tidak ada niatan untuk merancang kemerdekaan Indonesia. Sedang mendapatkan kritikan tersebut, barulah BPUPKI mulai bekerja kerasa dan pada akhirnya mereka melakukan sidang mengenai dasar Negera Indonesia. Karena dalam rapat tersebut menghasilkan bentuk awal dari Pancasila, maka gedung tersebut berubah menjadi Gedung Pancasila.