Mempertahankan sebuah pernikahan memang bukanlah perkara mudah. Kekurangan pasangan yang muncul seiring lamanya waktu pernikahan kerap ditolak oleh salah satu pihak dan menimbulkan ketidakcocokan.
Tidak jarang untuk menghalau rasa kecewa terhadap pasangan, suami atau istri mencari pelampiasan lain dengan berselingkuh. Kemunculan orang baru dalam sebuah hubungan rumah tangga ini biasanya menjadi pemicu pertengakaran yang semakin besar.
Pada zaman kini banyak dijumpai pasangan yang masih bersuami atau beristri berselingkuh dengan orang lain. Ketidakpedulian masyarakat terhadap mereka yang berselingkuh menjadi celah bagi mereka untuk leluasa melakukan tindakan tersebut.
Padahal secara syariat agama, tindakan perselingkuhan ini harus ditindak tegas tanpa ampun. Seperti apa hukuman yang seharusnya diterima para peselingkuh?
Agama Islam memberikan batasan terhadap pergaulan antara lawan jenis. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan munculnya perselingkuhan, pacaran, serta perzinahan yang dizaman kini marak terjadi.
Padahal dekatnya pergaulan antara pria dan wanita ini sangat berdampak besar terhadap perbuatan zina. Misalnya zina mata, yakni memandang lawan jenis dengan perasaan senang, zina hati yaitu memikirkan atau menghayalkan lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya, zina lisan, yaitu membincangkan lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya dan masih banyak tindakan zina yang bisa terjadi ketika pria dan wanita bebas bergaul.
Namun yang paling membahayakan adalah zina Al-Lamam atau zina yang sebenarnya. Tindakan ini lah yang kini banyak terjadi, imbasnya terjadi musibah hamil di luar nikah, atau perceraian karena salah satu pasangan tidak ridha suami atau istrinya berzina dengan orang lain.
Orang yang sudah menikah lalu berselingkuh dan mengarah kepada perbuatan zina sebenarnya harus dihukum dengan hukum yang mengerikan. Namun, hukuman di Indonesia tidak menerapkan aturan tersebut.
Hukuman bagi mereka yang sudah bersuami atau beristri lalu berselingkuh melakukan zina, maka harus dihukum rajam, yakni melempari penzina dengan batu sampai mati. Caranya, orangnya ditanam berdiri di dalam tanah sampai dadanya, lalu dilempari batu sampai mati.
“Ambillah dariku, ambillah dariku! Allah telah menjadikan bagi mereka jalan keluar. (jika berzina) perejaka dengan gadis (maka hadnya) dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun. (Apabila berzina) dua orang yang sudah menikah (maka hadnya) dicambuk seratus kali dan dirajam.” (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit)
Imam Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengatakan, “Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan membuat lubang untuk seorang wanita suku Ghomidi yang (dirajam) sampai dadanya. Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim. Dan lainnya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat lubang untuk Ma’iz, kemudian beliau memerintahkan sehingga dia dirajam, sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Buraidah dalam kisah Ma’iz.”
“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. [An Nur : 2]
Sementara itu orang yang berhak melaksanakan hukuman ini adalah penguasa kaum muslim yang mempu menegakkan syariat Allah. Hukuman ini termasuk Hudud atau kewajiban penguasa. Dan bukan hak sembarangan orang.
Syeikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhawayyan rahimahullah berkata,“Tidak (berhak) menegakkan had, kecuali imam (penguasa kaum muslimin) atau wakilnya; sama saja, apakah had itu karena hak Allah, seperti had zina. Atau karena hak manusia, seperti had tuduhan. Karena hal itu membutuhkan ijtihad dan tidak aman dari penyimpangan, maka wajib diserahkan kepadanya. Pada masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm, beliaulah yang menegakkan hudud. Demikian juga para khalifah setelahnya. Dan wakil imam (haknya) seperti imam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,’… Hai Unais, pergilah kepada wanita itu. Jika dia mengaku (berzina), rajamlah!’. Kemudian wanita itu mengaku (berzina), maka dia merajamnya. Beliau juga memerintahkan merajam Ma’iz, tetapi beliau tidak menghadirinya.” (Manarus Sabil Fi Syarhid Dalil 2/324-325, Jum’iyyah Ihyaut Turats Al Islami)
Menegakkan hudud merupakan hak imam. Ini merupakan ijma’ para ulama kaum muslimin. Akan tetapi terdapat pengecualian, yaitu bagi seorang tuan yang menegakkan had terhadap budaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jika seorang budak wanita telah berzina, dan telah nyata zinanya, maka hendaknya (tuannya) mendera (mencambuknya), dan janganlah dia menjelak-jelekannya. Jika dia berzina lagi, maka hendaknya (tuannya) menderanya, dan janganlah dia menjelak-jelekannya. Jika dia berzina yang ketiga kali, hendaklah (tuannya) menjualnya, walaupun dengan seutas tali terbuat dari rambut. (HR Bukhari no. 6839; Muslim no. 1703; dari Abu Hurairah)
Namun bagaimanakah jika penguasa tidak menegakkan hudud?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimauhllah menyatakan,“Perkataan orang yang berkata,’Tidak berhak menegakkan hudud kecuali sulthan (penguasa) dan wakil-wakilnya’, adalah jika mereka berkuasa, melaksanakan keadilan… Demikian juga jika amir (penguasa) menyia-nyiakan hudud, atau tidak mampu menegakkannya. Maka tidak wajib menyerahkan hudud kepadanya, jika memungkinkan menegakkannya tanpa penguasa.
Yang pokok, sesungguhnya kewajiban-kewajiban ini ditegakkan sebaik-baiknya. Jika memungkinkan ditegakkan oleh satu amir (penguasa), maka tidak membutuhkan kepada dua amir. Dan apabila tidak dapat ditegakkan, kecuali dengan banyak orang dan dengan tanpa sulthan (penguasa), maka hal itu (dapat) ditegakkan, jika menegakkannya itu tidak menimbulkan kerusakkan yang lebih besar daripada tidak menegakkannya. Karena hal itu termasuk amar ma’ruf nahi mungkar. Maka, jika menegakkannya itu menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada penguasa maupun rakyat daripada tidak ditegakkan, maka kerusakan itu tidak dilawan dengan kerusakan yang lebih besar.” (Majmu’ Fatawa 34/176)
Dari perkataan Syaikhul Islam tersebut, beliau membolehkan ditegakkannya hudud oleh selain penguasa dengan tiga syarat. Pertama, penguasa tidak melaksanakan, atau tidak mampu. Kedua, orang yang menegakkannya mampu melakukan. Jika cukup satu orang, maka tidak membutuhkan dua orang. Jika membutuhkan lebih, maka ditegakkan oleh secara bersama. Ketiga, dalam menegakkan hudud, tidak boleh menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada tidak ditegakkannya.
Lalu bila sudah bertaubat dari zina, apakah tetap harus dirajam? Jika seseorang sudah bertaubat dari zina (atau pencurian, minum khamr, dan lainnya), dan urusannya belum sampai kepada penguasa Islam yang menegakkan syari’at, maka had zina (cambuk atau rajam) gugur dari orang yang bertaubat tersebut. Hal ini dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [An Nisa’:16].
Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Maidah:39]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Orang yang bertaubat dari semua dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa. (HR Ibnu Majah no. 4250)
Adapun jika seseorang telah bertaubat, lalu mendatangi penguasa Islam yang menegakkan had dan mengaku berbuat zina, serta memilih ditegakkan had padanya, maka had boleh ditegakkan (walaupun tidak wajib). Jika tidak, maka tidak ditegakkan. (Majmu’ Fatawa 16/31).
Namun bukan berarti anda bisa untuk berselingkuh dan mendekati zina karena berpikir bahwa sesudahnya bisa bertaubat. Taubat yang diterima Allah hanya taubat Nasuhah dimana manusia memohon ampun dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Jika niat anda mengatakan taubat namun ingin dusta, ingatlah bahwa Allah maha mengetahui. Jika tidak mendapatkan siksa rajam di dunia, maka akan menerima neraka di akhirat kelak.