Inilah Hukumnya Enggan Kunjungi Mertua

Setelah menikah, selain ayah dan Ibu kandung seseorang akan mendapat orang tua baru dari pasangan yakni mertua. Baik istri maupun suami sama-sama harus berperilaku baik terhadap mereka layaknya seperti orang tua sendiri.

Fenomena yang terjadi saat ini, banyak istri yang tidak menyukai mertuanya. Kecemburuan mereka muncul karena suami juga memberikan perhatian lebih kepada ayah atau ibu kandungnya, sehingga kurang mengutamakan urusan keluarga inti.

Karena merasa tidak diutamakan oleh suami, seorang istri biasanya akan kesal dan menjauhi mertuanya. Tidak jarang, istri juga melarang suaminya untuk mengunjungi mereka. Tindakan enggan mengunjungi mertua ini, berpotensi memutuskan tali silaturahmi dan menyakiti hati suami. Lantas bagaimana hukumnya? Berikut ulasannya.

Sebelum menikah surga seorang wanita memang berada di telapak kaki ibunya. Namun hal ini berbeda jika sudah terjadi ijab kabul, maka surganya berpindah ke telapak kaki sang suami. Pasalnya suami harus memikul tanggungjawab penuh terhadap perilaku dan tindak-tanduk istrinya.

Salah satu ketaatan yang harus dijalankan istri adalah menghormati keduanya orang tua suami. Jika seorang suami menginginkan istrinya untuk mengunjungi orang tuanya  namun ditolak oleh istri, maka hal ini merupakan salah satu bentuk kedurhakaan terhadap suami. Padahal istri berkewajiban menaati perintah suami selama tidak melanggar syariat agama.

”Hak suami terhadap isterinya adalah isteri tidak menghalangi permintaan suaminya sekalipun semasa berada di atas punggung unta , tidak berpuasa walaupun sehari kecuali dengan izinnya, kecuali puasa wajib. Jika dia tetap berbuat demikian, dia berdosa dan tidak diterima puasanya. Dia tidak boleh memberi, maka pahalanya terhadap suaminya dan dosanya untuk dirinya sendiri. Dia tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia berbuat demikian, maka Allah akan melaknatnya dan para malaikat memarahinya kembali , sekalipun suaminya itu adalah orang yang alim.” (Hadist riwayat Abu Daud Ath-Thayalisi daripada Abdullah Umar)

Nabi bersabda: “Tidak dibenarkan manusia sujud kepada manusia, dan kalau dibenarkan manusia sujud kepada manusia, aku akan memerintahkan wanita sujud kepada suaminya karena besarnya jasa (hak) suami terhadap isterinya. (HR. Ahmad).

Begitu besarnya kewajiban istri untuk menaati suaminya sehingga tindakan melawan sang suami menjadi bentuk  kedurhakaan. Melarangnya membantu orangtuanya dan perhatian terhadap mereka sehingga membuat suami sedih akan membuat Allah murka terhadap istri. Karena sebenarnya surga seorang suami berada di telapak kaki ibunya. Meski sudah menikah, kewajiban berbakti kepada ibu ini tidak hilang, jadi suami adalah hak ibunda. Hal ini berdasarkan Hadis Riwayat Al Hakim, yang artinya:

Baca Juga:  Gua di Yordania Diklaim Jadi Lokasi Persembunyian Ashabul Kahfi

Dari Aisyah RA, Ia berkata, saya berkata kepada Rasulullah SAW “Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling besar haknya kepada seorang istri? Beliau menjawab, “suaminya” Dan siapakah yang paling berhak terhadap seorang laki-laki/suami? Beliau menjawab ‘Ibunya” (HR Al Hakim)

Demikian juga yang diriwayatkan Al-Hakim dan Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang bertanya:

“Ya Rasulallah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku pernah menjadi pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku.” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama kamu belum menikah.”

Intinya Suami Harus Adil Namun, hak suami ini jangan sampai disalah gunakan untuk menyakiti istri.  Tindakan berlebihan kepada orangtua sehingga membuat istri cemburu sebenarnya merupakan kesalahan suami. Bagaimana tidak, kasus yang kerap terjadi suami lebih mengutamakan ibunya dibanding istri. Misalnya saja, suami memberikan pendapatannya lebih besar kepada orang tua dari pada kepada istri, sehingga kebutuhan keluarga inti tidak tercukupi sehingga istri kesusahan memenuhi kebutuhan hidup. Sebab, kewajiban seorang suami untuk menafkahi istri dan anak-anaknya lebih diutamakan daripada kewajiban menafkahi orang tuanya. Ini sesuai dengan hadits berikut:

An Nasai meriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah SAW berabda “Bersedekahlah kalian”, lalu seseorang berkata ya Rasulullah aku hanya memiliki satu dinar, beliau menjawab: “Bersedekahlah dengannya untuk dirimu,” ia berkata aku mempunyai yang lain, beliau bersabda: “bersedekahlah untuk istrimu,” ia berkata aku mempunyai yang lain” beliau bersabda: “Bersedekahlah untuk anakmua,” ia berkata aku mempunyai yang lan, beliau bersabda”Bersedekahlaj untuk pembantumu,” ia berkata aku memiliki yang lain, beliau bersabda “Engkai lebih tahu yang berhak engkau beri,” .

Keputusan lain yang terkadang memberatkan istri adalah, tinggal satu rumah dengan mertuanya. Karena seringnya bertemu, potensi yang menyebabkan ketidakcocokan dan perselisihan antar mertua dan istri akan semakin besar. Padahal jika mereka berjauhan, akan semakin banyak kata rindu dan sayang yang terucap jika bertemu.

Namun hal ini jarang dipahami suami, padahal mereka berkewajiban memberikan tempat tinggal yang layak kepada istri dan bukan tempat tinggal yang satu atap dengan orang tuanya. Karena Salah satu hak istri adalah kediaman yang aman baginya, sesuai dengan kadar kemampuan dan kelapangan suaminya.

Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Asy Syanqithi yang mengatakan bahwa wajib bagi suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi istrinya. Jika si suami adalah orang kaya, maka hendaknya ia menyediakan tempat tinggal yang memadai. Namun jika si suami faqir, maka hendaknya ia menyediakan tempat tinggal sesuai kemampuannya.

Baca Juga:  Begini Kronologi Saat Nabi Isa Turun Ke Bumi

Suami tidak boleh membawa orang lain yang keberadaannya dapat menimbulkan madharat/bahaya kepada istrinya untuk tinggal serumah dengan istrinya, seperti: ibu suami, bapaknya, atau anak-anaknya dari istri yang lain.

Akan lebih baik lagi jika suami mampu menyediakan kediaman sendiri untuk orang tuanya dan kediaman sendiri untuk istrinya saling berdekatan. Karena dengan begitu, suami telah menunaikan kewajiban terhadap setiap orang yang memiliki hak atas dirinya (yaitu orang tua maupun istrinya, pen.), tanpa menyebabkan terputusnya tali silaturrahim dan timbulnya perselisihan.

Hendaknya suami lebih bijak untuk urusan ini sehingga baik istri maupun orangtua sama-sama tidak tersakiti. Orang tua memang selalu menjadi yang utama, namun jangan jadikan istri sebagai yang kedua. Karena kesalahan anda dalam membagi inilah yang sebenarnya menimbulkan perasaan marah dan kesal istri terhadap mertuanya.

Namun alangkah indah jika istri juga menyayangi mertuanya layaknya orang tua sendiri. Karena sebenarnya hal ini menjadi ladang amal mereka untuk meraih surga. Ketika suami bisa meraih surga ditelapak kaki ibunya, istri juga meraih surga karena menaati suaminya.