Menikmati Kemeriahan Festival Pacu Jalur di Provinsi Riau

Lomba Pacu Jalur Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau menjadi salah satu agenda pariwisata nasional yang digelar setiap tahun. Festival olahraga dayung menggunakan perahu panjang yang terbuat dari pohon ini, memang kerap dibanjiri pengunjung domestik dan mancanegara. Bahkan disebut sebagai event budaya yang memiliki penonton paling ramai di Indonesia.

Biasanya pelaksanaan pacu jalur digelar bertepatan dengan perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Tahun ini festival Pacu Jalur resmi dibuka pada 20 Agustus 2015 di Sungai Kuantan tepatnya di tepian Narosa, Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi.

Sebanyak 168 jalur (perahu kayu) akan bertanding dalam perlombaan yang berakhir pada 24 Agustus mendatang. Tidak hanya dari Provinsi Riau, ajang ini juga diikuti peserta dari luar daerah hingga  luar negeri salah satunya negara Malaysia.

Saat perlombaan berlangsung, penonton akan disuguhkan dengan aksi adu cepat dua perahu kayu yang masing-masing didayung oleh sekitar 50-60 orang. Para pendayung yang biasa disebut anak pacu ini akan bersorak sambil mendayung hingga ke garis finish yang jaraknya sekitar satu kilometer. Tentunya dengan sorak-sorai penonton yang turut serta memberi semangat dari bibir sungai.

Komposisi penumpang dalam perahu yang panjangnya 25-30 meter ini tidak hanya dinaiki oleh anak pacu.  Namun ada juga tukang tari, tukang onjai dan tukang rimbo yang masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang berbeda.

Tukang tari biasanya bertugas menari-nari dibagian depan perahu untuk memberi semangat. Lain lagi dengan tugas tukang onjai yang berdiri dibagian belakang jalur, mereka biasanya pemberi irama bagi jalur, sehingga jalur akan lebih cepat dan mudah didayung.

Sementara Tukang Timbo Ruang bertugas sebagai pemberi aba-aba kepada seluruh anak pacu agar mendayung secara serentak. Biasanya tukang rimbo juga akan membuang air sungai yang masuk ke perahu.
Pacu Jalur tumbuh menjadi agenda perlombaan rakyat  sejak tahun 1905. Tentu saja saat itu bukan sebagai perayaan HUT RI yang kala itu belum merdeka, melainkan untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhemina dari Belanda yang jatuh setiap 31 Agustus. Saat itu penjajah memang mendominasi di wilayah ini.

Baca Juga:  Tari Zapin Api, Budaya Melayu Riau yang Anti Mainstream

Lomba ini juga mengadopsi dari kegiatan sehari-hari masyarakat yang menggunakan jalur sebagai sarana transportasi. Sekitar awal abad 17, jalur memang menjadi alat  transportasi utama warga desa di daerah ini, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Biasanya masyarakat di sana menggunakan perahu kayu ini untuk mengangkut hasil bumi.

Seiring waktu muncul jalur dengan berbagai hiasan dan ukiran indah. Misalnya saja seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayungnya. Belum lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai yang membuat penampilan jalur biasa menjadi lebih menarik.

Perubahan ini menjadi tanda bahwa jalur tidak lagi berfungsi hanya sebagai alat transportasi semata, namun juga menunjukan identitas sosial. Pasalnya  hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu.

Namun setelah merdeka pelaksanaan Pacu Jalur bergeser dari awalnya memperingati hari lahir Ratu Wilhelmi menjadi perayaan kemerdekaan Indonesia. Festival rakyat Pacu Jalur mulai dipertandingkan secara resmi pada acara Kemerdekaan Republik Indonesia pada 1993, dan hingga kini rutin digelar setiap tahun.

Tidak hanya tentang fakta sejarah, Festival Pacu Jalur juga sarat akan nilai-nilai adat budaya di sana. Dalam pembuatan jalur, masyarakat harus melakukan prosesi ritual mistik saat  menebang pohon yang akan dijadikan bahan utama. Upacara menebang pohon untuk jalur biasa dikenal dengan nama Batonuang.

Hal ini dilakukan agar kayu yang digunakan terhindar dari roh jahat. Biasanya dipimpin oleh seorang dukun dengan beberapa rangkaian kegiatan seperti penyembelihan ayam hitam jamui (putih suci), pembakaran kemenyan, tepung tawar, dan sebagainya. Kegiatan ini dianggap mencerminkan bahwa penghargaan terhadap  keberadaan semua makhluk lain ciptaan Tuhan. Upacara ini sendiri kerap dijadikan ajang wisata bagi pengunjung yang datang kesana.

Baca Juga:  Cermin Permaisuri Istana Siak Ini Bikin Cantik yang Berkaca

Hingga saat ini ivent pacu jalur terus ramai dikunjungi masyarakat dan jumlah pengunjung mencapai jutaan dan menjadi wisata unggulan Kuansing dan Riau. Tradisi Pacu Jalur ini sendiri telah mampu menggairahkan sektor pariwisata di Kuantan Singingi khususnya dan Riau umumnya.

Foto: Trip Riau