Pandangan Islam Tentang Menikahi Wanita Hamil

Dua dekade silam istilah Married by Accident (MBA) atau menikah karena hamil duluan akan mendapat sanksi sosial yang berat dari masyarakat. Akan tetapi beberapa waktu berselang hal ini terkesan biasa padahal sangat bertentangan dengan ajaran agama. Tindakan amoral yang terjadi ini biasanya akan hilang begitu saja jika sudah terjadi pernikahan. Ini artinya seoarang pria menikahi wanita dalam kondisi sedang hamil.

Lantas bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap hukum pernikahan yang dilakukan saat wanita dalam kondisi hamil? Apa yang harus dilakukan jika sudah terlanjur menikahi wanita hamil, apakah harus cerai dulu dan kemudian menikah lagi setelah melahirkan?

Wanita yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam. Pertama adalah wanita yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil dan wanita yang hamil karena melakukan zina sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini Wal ‘iyadzu billah.

Berdasarkan Qur’an Surah Ath-Tholaq : 4 perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah nya. Masa ‘iddah ini berlangsung sampai ia melahirkan. Sementara itu hukum menikah dengan wanita hamil saat masa ‘iddah adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah SWT.

“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. Ath-Tholaq : 4).

“Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis ‘iddahnya”. (QS. Al-Baqarah : 235).

Lantas bagaimana dengan wanita yang hamil karena zina?  Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina. Syarat pertama bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista dan kedua telah lepas dari masa ‘iddah.

Madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid mensyaratkan agar pezina bertobat nasuhah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :

“Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla :

“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin”. (QS. An-Nur : 3).

Dan dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, beliau berkata:

Baca Juga:  Enam Misteri yang Allah Sembunyikan dari Manusia

“Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan pelacur bernama ‘Anaq dan Ia adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata : “Maka saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wassallam lalu saya berkata : “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘Anaq ?”.Martsad berkata : “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”.

Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : “Jangan kamu nikahi dia”. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 l).

Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :

“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya”. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya).

Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :

  1. Ikhlash karena Allah.
  2. Menyesali perbuatannya.
  3. Meninggalkan dosa tersebut.
  4. Ber’azam (bertekad) dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
  5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahariterbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.

Selain bertobat, persyaratan lain adalah terlepas dari ‘iddah atau  sampai melahirkan. Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ‘ulama yang mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ‘ulama mengatakan bahwa ‘iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan ‘ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah perempuan yang ditalak.

Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas ‘iddah-nya.Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas ‘iddah adalah kalau ia hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.

Kalau ia belum hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.

Telah jelas dari jawaban di atas bahwa perempuan yang hamil, baik hamil karena pernikahan sah, syubhat atau karena zina, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Dan para ‘ulama sepakat bahwa akad nikah pada masa ‘iddah adalah akad yang batil lagi tidak sah. Dan kalau keduanya tetap melakukan akad nikah dan melakukan hubungan suami-istri setelah keduanya tahu haramnya melakukan akad pada masa ‘iddah maka keduanya dianggap pezina dan keduanya harus diberi hadd (hukuman) sebagai pezina kalau negara mereka menerapkan hukum Islam, demikian keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 11/242.

Baca Juga:  Beratnya Denda Suami Istri yang Berjima’ pada Siang Ramadhan

Adapun mahar, si perempuan hamil ini berhak mendapatkan maharnya kalau memang belum ia ambil atau belum dilunasi.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

Adapun orang yang ingin meminang kembali perempuan hamil ini setelah ia melahirkan, maka kembali diwajibkan mahar atasnya berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :

“Berikanlah kepada para perempuan (yang kalian nikahi) mahar mereka dengan penuh kerelaan” (QS. An-Nisa` : 4).

Haram atau halal, sebaiknya, pernikahan dengan kondisi dan status seperti ini agar dihindarkan. Rumah tangga yang diawali dengan yang baik, Inshaa Allah, akan berkelanjutan baik.